Saturday, August 30, 2025

Listening 4: When You're Lost, Pursue Yourself | Khairani Ashry | TEDxAnggerek Desa Youth

Transcriber: Ane Alonso SanchoR

Reviewer: Taoran Song

Sumber: (https://youtu.be/e4K9NH7-6I4?si=m0fC5zSEyLunhh63) 

If you ask me almost a decade ago,
this question, what do you
want to be when you grow up?
Or what do you want to do with your life?
I'd probably leave you
with no answer. And that's
because I genuinely do not know.
(Jika Anda bertanya kepada saya hampir satu dekade yang lalu,
pertanyaan ini: Apa yang ingin kamu jadi saat dewasa?
Atau Apa yang ingin kamu lakukan dengan hidupmu?
Mungkin saya tidak akan bisa menjawab.
Dan itu karena saya benar-benar tidak tahu..)
I was an A-level student figuring life,
or shall I say, enjoying life.
I was privileged enough
to be one of the students
in the most prestigious
school here in Brunei.
Saya adalah siswa A-level yang sedang mencari jati diri,
atau bisa juga dibilang, menikmati hidup.
Saya cukup beruntung menjadi salah satu murid
di sekolah paling bergengsi di Brunei.
My friends told me, my parents told me
and my teachers told me
to focus on your studies.
I always have. Have that in mind.
Teman-teman saya bilang, orang tua saya bilang,
dan guru-guru saya bilang,
“Fokuslah pada pelajaranmu.”
Saya selalu menyimpannya di pikiran.
But I don't have the privilege
to have academic as my weapon.
I wasn't the bright student,
but every time I mention
where I'm from, without a fail,
I'll get a wow. She's got brain.
Tapi saya tidak punya keistimewaan
untuk menjadikan akademik sebagai senjata saya.
Saya bukan siswa yang pintar cemerlang,
tetapi setiap kali saya menyebutkan dari mana saya berasal,
tanpa gagal, orang akan berkata “wow, dia pintar.”

Well, scientifically, I do.
We all do.
But then I'm not the A star student.
I wasn't a straight A student,
so I compensated in a different way.
Secara ilmiah, memang benar. 
Kita semua punya otak.
Tetapi saya bukan murid dengan nilai A bintang,
bukan juga murid dengan nilai A seterusnya.
Jadi saya mengimbanginya dengan cara lain.
If you knew me from back then,
I appear a lot on stage.
Not for public speaking, though.
I sang,
I've retired. Please don't ask me to sing.
Kalau Anda mengenal saya waktu itu,
saya sering tampil di panggung.
Bukan untuk pidato publik, tapi saya bernyanyi.
Sekarang saya sudah pensiun, jadi jangan minta saya bernyanyi lagi.
I've always missed my class.
Then I always tell my teacher.
Miss. I'm sorry I can't attend
to your class again.
But then, on the other hand,
I was like, yes,
we all been there.
Saya sering bolos kelas.
Saya selalu bilang ke guru,
“Bu, maaf saya tidak bisa hadir lagi ke kelas Anda.”
Tapi di sisi lain saya menikmatinya.
I truly enjoyed my time.
At one point I was a choir captain.
I was the head of field performance.
I was enjoying life,
but I was struggling academically.
Saya benar-benar menikmati waktu saya.
Pernah juga saya menjadi ketua paduan suara,
juga ketua penampilan lapangan.
Saya menikmati hidup,
tapi saya kesulitan dalam bidang akademik.
So with this question.
There's one thing
that I always ask myself.
It hasn't come up to my mind that what
I want to be because all of my friends,
they have their career path set.
I want to be a doctor.
I want to be a lawyer.
I want to be an accountant.
They all know what they want.
But I was just there, living life.
Jadi dengan pertanyaan tadi,
ada satu hal yang selalu saya tanyakan pada diri saya.
Tidak pernah terlintas di pikiran saya tentang
apa yang ingin saya jadi,
sementara semua teman saya sudah punya jalur karier.
Ada yang ingin jadi dokter, pengacara, akuntan.
Mereka semua tahu apa yang mereka mau.
Sementara saya hanya hidup menjalani hari.
During my O-levels,
I was really struggling.
So after I was done with my O-levels,
I requested to transfer school.
I really don't want to do my A-levels
because then I will screw myself.
Saat ujian O-level,
saya benar-benar kesulitan.
Setelah selesai, saya meminta pindah sekolah.
Saya benar-benar tidak ingin melanjutkan A-level,
karena saya tahu saya akan hancur sendiri.
But here's what my parents
and my teacher told me.
Just two more years.
Another two years and you'll graduate.
What convinced me was
when my teacher told me that you're
already in a prestigious school.
The universities will be seeing
our school first before other schools.
Tapi inilah yang orang tua dan guru saya katakan:
“Cuma dua tahun lagi. Dua tahun lagi kamu akan lulus.”
Yang meyakinkan saya adalah
ketika guru saya bilang:
“Kamu sudah ada di sekolah bergengsi.
Universitas akan melihat sekolah kita lebih dulu daripada yang lain.”
Now I was like, okay, I'm sold,
but do I really know what I want to do?
I don't even know what I want
to pursue in my university,
what major I will be taking.
I didn't know any of that.
Waktu itu saya pikir, “Oke, saya setuju.”
Tapi apakah saya benar-benar tahu apa yang ingin saya lakukan?
Saya bahkan tidak tahu jurusan apa yang akan saya ambil di universitas.
Saya tidak tahu apa pun tentang itu.
I still remember those conversations
as if they happened yesterday,
but they are still fresh in my mind
because that was the time
where I started to ask myself,
what do I want to do?
What do I want to pursue?
Saya masih ingat percakapan itu seolah baru kemarin.
Karena pada saat itulah saya mulai bertanya pada diri sendiri:
Apa yang ingin saya lakukan?
Apa yang ingin saya tekuni?
And that was when these questions
started to flood my head.
What makes me happy? What brings me joy?
Unfortunately.
I don't have an immediate answer,
but one thing that I know
is that deep down,
I know that I made for more.
Pertanyaan-pertanyaan itu membanjiri pikiran saya.
Apa yang membuat saya bahagia? Apa yang memberi saya kegembiraan?
Sayangnya, saya tidak punya jawaban langsung.
Tapi ada satu hal yang saya tahu:
jauh di lubuk hati, saya tahu saya diciptakan untuk hal yang lebih besar.
So let's walk back a little
to the O levels again.
I had quite a bit
of a following back then,
and I still remember how
my closet was practically vomiting
because I had too much clothes.
Kembali sedikit ke masa O-level.
Waktu itu saya cukup punya banyak pengikut.
Saya masih ingat bagaimana lemari saya
penuh sesak dengan pakaian.
And then that's where I built my platform,
where I could sell off my clothes.
Because I know that if I ask someone
to sell off my clothes, they'll be like,
Kai, this is too much.
Dari situlah saya membangun platform
untuk menjual pakaian saya.
Karena saya tahu kalau saya minta orang lain menjualkannya,
mereka akan berkata, “Kai, ini terlalu banyak.”
So I took the matters in my hands.
That's where I built my own venture
for fun initially.
But this goes on and on.
During my O-level years
and until my A-level years,
Jadi saya ambil alih sendiri.
Itulah awal mula usaha kecil saya.
Awalnya hanya untuk bersenang-senang.
Tapi itu terus berlanjut,
dari masa O-level sampai A-level.
I was juggling between studies.
I was also juggling between
my new venture,
trying to satisfy my 100 followers
for what I only had back then
I enjoyed. I truly enjoy packing stuff,
Delivering them.
Saya berjuang dengan pelajaran,
tapi juga sibuk dengan usaha baru saya.
Mencoba memuaskan sekitar 100 pengikut pertama saya.
Saya menikmatinya. Saya sangat menikmati
mengemas barang, mengirimnya.
The most tedious part is the photo taking.
There's a lot of logistics
going on back then,
but I enjoy it. I truly enjoyed it.
Gives me the fulfillment.
Bagian paling melelahkan adalah foto produk.
Banyak urusan logistik saat itu.
Tapi saya menikmatinya, itu memberi kepuasan.
I still remember.
I was really looking
forward to being 18 because why?
Because that was when the time that I
could register for my business license.
My birthday gift from myself
when I was 18. The first thing
that I did was to register my business
as an official business.
Saya sangat menunggu usia 18.
Kenapa? Karena saat itu saya bisa
mendaftarkan izin usaha.
Hadiah ulang tahun dari saya untuk diri saya sendiri
adalah mendaftarkan usaha saya secara resmi.
So now it's an official business.
It's not for fun anymore.
I have to think of how do I
turn from motivation to discipline?
Whether or not if I want to do it,
I have to do it because
I've signed up for it.
I've committed to it.
Sekarang ini resmi, bukan lagi main-main.
Saya harus berpikir:
bagaimana cara mengubah motivasi menjadi disiplin?
Entah saya mau atau tidak, saya harus melakukannya,
karena saya sudah berkomitmen.
So here's where I pivot.
I realized that doing thrifting a thrift
business will not get me anywhere,
at least in Brunei.
Again, I didn't have an immediate answer,
but along the way.
I found my answer.
Lalu saya mulai berubah arah.
Saya sadar bisnis thrift tidak akan membawa saya jauh,
setidaknya di Brunei.
Saya tidak langsung punya jawabannya.
Tapi sepanjang perjalanan, saya menemukannya.
How?
For context, my family goes on an annual
twice yearly for family trips.
So in one of our trips,
one of our customers asked me,
can you buy this for me?
I'll pay the price for it.
And I was like, oh,
there's a market for it.
There's a demand.
Suatu ketika saat liburan keluarga,
seorang pelanggan bertanya,
“Bisa belikan ini untuk saya? Saya bayar.”
Dan saya sadar, oh, ada pasarnya. Ada permintaan.
So I try to test it Sit.
And then, surprisingly,
I got a positive feedback.
I showed up for it day by day.
What started off as a few members now
to almost ten members
in our VIP community group all along.
Jadi saya coba, dan ternyata responsnya positif.
Saya melakukannya hari demi hari.
Dari awal hanya beberapa anggota,
sekarang jadi hampir sepuluh orang
di grup komunitas VIP kami.
That was my goal,
is to unleash my inner fire.
Listening to the voice inside
of me of what I want to do.
It looks different than most
of the career paths,
but this is what my voice tells me.
Itulah tujuan saya:
membangkitkan api dalam diri saya.
Mendengarkan suara hati saya.
Jalannya mungkin berbeda
dari jalur karier kebanyakan,
tapi inilah yang hati saya katakan.
I kept looking inward
and this is what I want to do for my life.
This is what brings me joy.
Seeing the satisfaction, seeing how happy
they are when I fulfill their orders,
I feel so fulfilled by that.
I feel so happy and that's
Saya terus melihat ke dalam diri.
Dan inilah yang ingin saya lakukan.
Inilah yang memberi saya kebahagiaan.
Melihat orang puas ketika pesanannya terpenuhi,
saya merasa sangat bahagia.
why I continued.
But then that's the thing.
When I started my personal
shopping business,
“Mengapa saya terus melanjutkannya. 
Tapi begitulah adanya. 
Saat saya memulai bisnis personal shopping saya,”
I started to ask question
how do I do the pricing?
How often shall I travel?
Did I find my answers right away?
Absolutely not.
But I figured it out along the way.
Tapi kemudian muncul pertanyaan:
bagaimana menentukan harga?
Seberapa sering saya harus bepergian?
Apakah saya langsung tahu jawabannya?
Tentu saja tidak. Tapi saya menemukannya di jalan.
So this is when I built my community.
I needed to find a way
to
make a platform where all
of us could gather around
and to shop together.
But then again, I don't want
this to be just a business transaction.
It's too boring for me.
Well, at least for me, it's too boring
for me. 
Dari situlah saya membangun komunitas.
Saya perlu platform
agar kita bisa berkumpul dan berbelanja bersama.
Tapi saya tidak ingin ini sekadar transaksi bisnis.
Itu terlalu membosankan.
I want to give a Value.
So that's when I use my community,
almost ten K members now
to share values.
Every rooms I step in,
I would share in my community group.
I would tell them top three
keys that I got from this event,
because I know that I'm privileged
to be in the room where most can't.
Jadi saya membagikan nilai.
Sekarang hampir 10 ribu anggota komunitas.
Setiap acara yang saya hadiri,
saya bagikan tiga hal penting yang saya dapat.
Karena saya tahu, saya beruntung bisa hadir di ruangan
yang tidak semua orang bisa.
I know there's still a huge gap
between potential and privilege.
My goal is to bridge that gap.
Tujuan saya adalah menjembatani
antara potensi dan kesempatan.
Here's the other challenge.
Owning a business
is not considered as a valid career here
in Brunei, and we all know that.
Why do you want to do business?
It's so unstable.
Just go with government lah.
Stable income.
You get all of the benefits.
Tantangan lainnya:
di Brunei, memiliki bisnis
tidak dianggap karier yang sah.
Selalu orang bilang:
“Kenapa mau berbisnis? Tidak stabil.
Lebih baik kerja pemerintah.
Gaji stabil, ada tunjangan.”
That's what I always hear.
It's not always easy.
You're fighting with yourself internally.
Whether. If you want
to listen to the outside world
or to listen to your voice.
What gives you joy?
Itu selalu saya dengar.
Tidak selalu mudah.
Ada pertarungan batin:
Apakah saya mau mendengarkan dunia luar,
atau mendengarkan suara hati saya?
I decided to do the latter.
My parents and I always have this talk.
It's okay.
You can stop doing your business.
I feel like you're struggling.
I feel like it's too hard for you.
But, Ma, I'm the one
that's doing the business.
How can you say that? It's hard
when you're not the one doing it.
Saya memilih yang terakhir.
Orang tua saya sering berkata,
“Tidak apa-apa, berhenti saja.
Terlalu sulit untukmu.”
Tapi saya menjawab:
“Bu, saya yang menjalani usaha ini.
Bagaimana Ibu bisa bilang sulit,
kalau bukan Ibu yang menjalaninya?”
But then again,
that's what life is all about.
Life is hard.
It's a matter of choosing your heart.
Memang berat.
Tapi begitulah hidup.
Hidup itu sulit.
Tinggal memilih kesulitan mana yang mau dijalani.
Eating healthy is hard,
but so is staying unfit.
Reading is hard,
but so is being unknowledgeable.
Starting your own venture
because it gives you joy is hard,
but so is staying in your comfort
zone that drains you.
Makan sehat itu sulit,
tapi tetap tidak fit juga sulit.
Membaca itu sulit,
tapi tetap bodoh juga sulit.
Memulai usaha itu sulit,
tapi tetap di zona nyaman yang mengurasmu juga sulit.
So you choose your heart.
And this is when I
realized that what aligns with me
is choosing my heart.
I love doing my business,
doing my new venture.
It gives me joy. It aligns with me.
It is what my inner voice tells me.
Jadi pilih kesulitanmu.
Saya sadar yang sejalan dengan saya
adalah memilih kesulitan saya sendiri.
Saya mencintai usaha saya.
Itu memberi saya kebahagiaan.
Itu sejalan dengan suara hati saya.
The mindset change that I've
gotten along the line in my journey.
I know I still have a long journey to go
is to acknowledge
how hard it is.
No rooms you enter is ever easy.
No job you enter is ever easy.
Saya tahu perjalanan saya masih panjang.
Dan saya harus mengakui betapa sulitnya.
Tidak ada ruangan yang mudah dimasuki.
Tidak ada pekerjaan yang mudah dimulai.
So that's when I feel the alignment.
That's when I sort of, like, found myself.
And that's how I got here.
Because I continued
to listen to the voice inside me.
Di situlah saya merasa menemukan diri saya.
Dan itulah bagaimana saya sampai di sini:
karena saya terus mendengarkan suara hati saya.
What I thought all this time.
Is to listen to others
and not knowing what to do.
I found my answer.
And in the end, it wasn't
about finding the perfect plan.
It was about finding myself
and build a life around it.
Selama ini saya pikir
saya harus mendengarkan orang lain.
Dan akhirnya tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Ternyata jawabannya adalah
menemukan diri saya sendiri,
dan membangun hidup di sekitarnya.
Before I close my speech,
I would like to leave you with a quote
by my favorite author from his 48 Laws
of Power. You know it's Robert Greene.
Sebelum saya menutup pidato ini,
saya ingin meninggalkan sebuah kutipan
dari penulis favorit saya, Robert Greene,
dari bukunya 48 Laws of Power:
Do not accept the roles
that society foists
on you recreate yourself
by forging a new identity,
one that commands attention
and never bores the audience.
Be the master of your own image rather
than letting others define it for you.
“Jangan terima peran yang dipaksakan
masyarakat kepadamu.
Ciptakan dirimu kembali dengan
membentuk identitas baru,
yang menarik perhatian
dan tidak pernah membosankan.
Jadilah penguasa gambaran dirimu sendiri,
jangan biarkan orang lain mendefinisikannya untukmu.”
I resonate a lot with this.
Because when I finished my O-levels,
I really didn't know what to do.
I don't know who I was,
So I listened to others.
What? Their definition of success.
Taking a levels route.
I didn't listen to myself.
Saya sangat terhubung dengan kutipan ini.
Karena ketika saya selesai O-level,
saya benar-benar tidak tahu apa yang harus saya lakukan.
Saya tidak tahu siapa diri saya.
Jadi saya hanya mendengarkan orang lain,
mendengar definisi sukses versi mereka.
Saya mengikuti jalur A-level,
tanpa mendengarkan diri saya sendiri.
So from this.
If you're feeling lost,
if you still don't know what to do,
don't worry. You still have yourself.
It's time to pause. Look inwards
and ask yourself, does this bring me joy?
Does this makes me happy?
Does this align with me?
Jadi, jika Anda merasa tersesat,
jika Anda masih tidak tahu apa yang harus dilakukan,
jangan khawatir. Anda masih punya diri Anda sendiri.
Saatnya berhenti sejenak, lihat ke dalam,
dan tanyakan pada diri:
Apakah ini membuat saya bahagia?
Apakah ini memberi saya kegembiraan?
Apakah ini sejalan dengan diri saya?
Eventually, you'll find your answer.
Not immediately, but eventually
you'll find your answer. Thank you.
Pada akhirnya, Anda akan menemukan jawabannya.
Tidak langsung, tapi pada akhirnya
Anda akan menemukannya. Terima kasih.

No comments:

Post a Comment

Terjemahan 5: "I do not know what I may appear to the world

"I do not know what I may appear to the world ; but to myself I seem to have been only like a boy playing on the seashore, and divertin...