Reading 26: A seventeenth-century theory of burning proposed that anything

A seventeenth-century theory of burning proposed that anything that burns must contain material that the theorists called “phlogiston.” Burning was explained as the release of phlogiston from the combustible material to the air. Air was thought essential, since it had to provide a home for the released phlogiston. There would be a limit to the phlogiston transfer, since a given volume of air could absorb only so much phlogiston. When the air had become saturated, no additional amounts of phlogiston could leave the combustible substance, and the burning would stop. Burning would also stop when the combustible substance was emptied of all its phlogiston.

Although the phlogiston theory was self-consistent, it was awkward because it required that imaginative, even mysterious, properties be ascribed to phlogiston. Phlogiston was elusive. No one had ever isolated it and experimentally determined its properties. At times it seemed to show a negative weight: the residue left after burning weighed more than the material before burning. This was true, for example, when magnesium burned. Sometimes phlogiston seemed to show a positive weight, when, for example, wood burned, the ash weighed less than the starting material. And since so little residue was left when alcohol, kerosene, or high-grade coal burned, these obviously different materials were thought to be pure or nearly pure phlogiston.

In the eighteenth century, Antoine Lavoisier, on the basis of careful experimentation, was led to propose a different theory of burning, one that required a constituent of air – later shown to be oxygen – for combustion. Since the weight of the oxygen is always added, the weight of the products of combustion, including the evolved gases, would always be greater than the weight of the starting material.

Lavoisier’s interpretation was more reasonable and straightforward than that of the phlogiston theorists. The phlogiston theory, always clumsy, became suspect, eventually fell into scientific disrepute, and was replaced by new ideas.

----------------------------------

Teori pembakaran abad ketujuh belas mengusulkan bahwa segala sesuatu yang terbakar harus mengandung suatu zat yang oleh para teoritis disebut “phlogiston.” Pembakaran dijelaskan sebagai pelepasan phlogiston dari bahan yang dapat terbakar ke udara. Udara dianggap penting, karena harus menyediakan tempat bagi phlogiston yang dilepaskan. Ada batasan dalam perpindahan phlogiston, karena volume udara tertentu hanya dapat menyerap sejumlah phlogiston. Ketika udara sudah jenuh, tidak ada lagi phlogiston yang bisa keluar dari zat yang dapat terbakar, dan pembakaran akan berhenti. Pembakaran juga akan berhenti ketika zat yang dapat terbakar sudah habis seluruh phlogistonnya.

Meskipun teori phlogiston konsisten dengan dirinya sendiri, teori ini dianggap canggung karena memerlukan sifat-sifat imajinatif, bahkan misterius, yang disandarkan pada phlogiston. Phlogiston sulit dipahami. Tidak ada yang pernah mengisolasinya atau secara eksperimental menentukan sifat-sifatnya. Kadang-kadang phlogiston tampak memiliki berat negatif: sisa yang tertinggal setelah pembakaran lebih berat daripada bahan sebelum dibakar. Hal ini benar, misalnya, ketika magnesium terbakar. Kadang phlogiston tampak memiliki berat positif, misalnya ketika kayu terbakar, abu yang tersisa lebih ringan daripada bahan awalnya. Dan karena sangat sedikit sisa yang tertinggal ketika alkohol, minyak tanah, atau batubara berkualitas tinggi terbakar, bahan-bahan yang jelas berbeda ini dianggap sebagai phlogiston murni atau hampir murni.

Pada abad kedelapan belas, Antoine Lavoisier, berdasarkan eksperimen yang cermat, mengusulkan teori pembakaran yang berbeda, yaitu teori yang membutuhkan salah satu komponen udara – yang kemudian diketahui sebagai oksigen – untuk pembakaran. Karena berat oksigen selalu ditambahkan, maka berat hasil pembakaran, termasuk gas yang terbentuk, akan selalu lebih besar daripada berat bahan awal.

Interpretasi Lavoisier lebih masuk akal dan lugas dibandingkan dengan para teoritis phlogiston. Teori phlogiston, yang sejak awal kikuk, akhirnya diragukan, jatuh ke dalam ketidakpercayaan ilmiah, dan digantikan oleh gagasan-gagasan baru.